Antivirus tersebut seperti program sejenis lain yang telah dijual oleh perusahaan asing. Cara kerjanya sama. Namun lebih banyak membasmi virus buatan dalam negeri hingga sekitar 60 persen. "Sekarang virus yang sudah bisa dimatikan 1.031 macam," ujarnya.
ARTAV sejauh ini mampu memindai ratusan ribu varian virus. Pengunduhnya tak hanya dari Indonesia, tapi juga pengguna di Perancis, Jerman, Israel, dan Palestina. Dalam sebuah survey di sebuah situs tentang kemampuan memindai virus, ARTAV berada di posisi ketiga, dibawah dua merek antivirus ternama di dunia.
Arrival yang biasa dipanggil Ipal, mulai merintis pembuatan antivirus itu pada September 2010 lalu. Awalnya ia belajar otodidak dari buku-buku komputer. "Gara-garanya waktu itu motherboard komputer mati kena virus pas buka internet," ujarnya. Sampai sekarang, jenis virus itu masih ditelusurinya.
Program itu dibuatnya di rumah sepulang sekolah. Kakaknya, Taufik Aditya Utama, pelajar SMA 25 Bandung, ikut membantu pembuatan desain tampilan dan logo. Nama ARTAV singkatan dari nama Arrival dan Taufik.
Untuk menguji karyanya, Ipal rajin mengumpulkan virus-virus yang ada di komputer beberapa warung internet di sekitar sekolahnya di daerah Ciwastra, Bandung. Kadang ia minta penjaga warnet kenalannya untuk mencari virus lalu disimpannya di USB dan dibawa pulang.
"Sehari bisa dapat 10-20 virus baru," kata Ipal yang bercita-cita ingin seperti Bill Gates itu. Selanjutnya, antivirus buatannya secara berkala diuji ke komputer pribadi teman-teman sekolahnya. Memenuhi permintaan pengguna, ARTAV juga bisa dipakai untuk menangkal penularan virus dari USB.
Kemampuannya di bidang rekayasa tekonologi komputer itu, juga membuat ibu Ipal, Yeni Sofia, 38 tahun, kaget, sekaligus bangga. Kaget, karena banyak orang menghargai dan ingin membantu kemampuan anaknya untuk lebih berkembang. "Saya bahagia karena perjalanan pembuatan antivirus ini memang panjang," ujar Yeni., seorang guru Taman Kanak-kanak di Bandung ini.
Ipal bukan berasal dari keluarga kaya. Yeni hanya bekerja sebagai guru TK dengan gaji Rp. 300 ribu perbulan. Keluarga ini kerap berpindah-pindah tempat, dan kini mereka mengontrak rumah ukuran tipe 21 di daerah Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Herman Suherman, 46 tahun, iyah Ipal, pensiunan PT Inti yang kini menjual pulsa dan telepon genggam bekas.
Menurut Yeni, buku-buku komputer yang cukup mahal hanya bisa mereka beli saat musim diskon hingga 50 persen. Ipal memotong uang sakunya Rp 30 ribu per minggu untuk menabung uang buku itu dan pencarian virus di warnet-warnet. "Itu sisa hasil uang ongkos sekolah Rp 16 ribu seminggu," kata Yeni.
Mereka sempat meminta bantuan ke Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf karena Arrival punya bakat yang harus dikembangkan. "Dua kali kami kirim surat tahun lalu tapi belum ada balasan," kata Yeni.
ARTAV sejauh ini mampu memindai ratusan ribu varian virus. Pengunduhnya tak hanya dari Indonesia, tapi juga pengguna di Perancis, Jerman, Israel, dan Palestina. Dalam sebuah survey di sebuah situs tentang kemampuan memindai virus, ARTAV berada di posisi ketiga, dibawah dua merek antivirus ternama di dunia.
Arrival yang biasa dipanggil Ipal, mulai merintis pembuatan antivirus itu pada September 2010 lalu. Awalnya ia belajar otodidak dari buku-buku komputer. "Gara-garanya waktu itu motherboard komputer mati kena virus pas buka internet," ujarnya. Sampai sekarang, jenis virus itu masih ditelusurinya.
Program itu dibuatnya di rumah sepulang sekolah. Kakaknya, Taufik Aditya Utama, pelajar SMA 25 Bandung, ikut membantu pembuatan desain tampilan dan logo. Nama ARTAV singkatan dari nama Arrival dan Taufik.
Untuk menguji karyanya, Ipal rajin mengumpulkan virus-virus yang ada di komputer beberapa warung internet di sekitar sekolahnya di daerah Ciwastra, Bandung. Kadang ia minta penjaga warnet kenalannya untuk mencari virus lalu disimpannya di USB dan dibawa pulang.
"Sehari bisa dapat 10-20 virus baru," kata Ipal yang bercita-cita ingin seperti Bill Gates itu. Selanjutnya, antivirus buatannya secara berkala diuji ke komputer pribadi teman-teman sekolahnya. Memenuhi permintaan pengguna, ARTAV juga bisa dipakai untuk menangkal penularan virus dari USB.
Kemampuannya di bidang rekayasa tekonologi komputer itu, juga membuat ibu Ipal, Yeni Sofia, 38 tahun, kaget, sekaligus bangga. Kaget, karena banyak orang menghargai dan ingin membantu kemampuan anaknya untuk lebih berkembang. "Saya bahagia karena perjalanan pembuatan antivirus ini memang panjang," ujar Yeni., seorang guru Taman Kanak-kanak di Bandung ini.
Ipal bukan berasal dari keluarga kaya. Yeni hanya bekerja sebagai guru TK dengan gaji Rp. 300 ribu perbulan. Keluarga ini kerap berpindah-pindah tempat, dan kini mereka mengontrak rumah ukuran tipe 21 di daerah Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Herman Suherman, 46 tahun, iyah Ipal, pensiunan PT Inti yang kini menjual pulsa dan telepon genggam bekas.
Menurut Yeni, buku-buku komputer yang cukup mahal hanya bisa mereka beli saat musim diskon hingga 50 persen. Ipal memotong uang sakunya Rp 30 ribu per minggu untuk menabung uang buku itu dan pencarian virus di warnet-warnet. "Itu sisa hasil uang ongkos sekolah Rp 16 ribu seminggu," kata Yeni.
Mereka sempat meminta bantuan ke Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf karena Arrival punya bakat yang harus dikembangkan. "Dua kali kami kirim surat tahun lalu tapi belum ada balasan," kata Yeni.
Untungnya, dosen-dosen Institut Teknologi Bandung kini membuka pintu kelasnya agar Ipal bisa kursus gratis sepekan sekali tiap Jumat sore. “Saya dan kakak mau mengembangkan antivirus buat telepon genggam,” kata Ipal.
Pakar keamanan komputer dari ITB Budi Raharjo mengatakan, antivirus buatan Ipal tergolong hebat untuk anak seusianya. "Inovasinya apa? Kebaruan antivirus itu sebagai buatan Indonesia," ujarnya. Dia berharap terobosan ini diikuti perusahaan lokal untuk membuat antivirus asli Indonesia. Soalnya, virus yang beredar di Indonesia ini kebanyakan bukan buatan lokal alias impor.
Pakar keamanan komputer dari ITB Budi Raharjo mengatakan, antivirus buatan Ipal tergolong hebat untuk anak seusianya. "Inovasinya apa? Kebaruan antivirus itu sebagai buatan Indonesia," ujarnya. Dia berharap terobosan ini diikuti perusahaan lokal untuk membuat antivirus asli Indonesia. Soalnya, virus yang beredar di Indonesia ini kebanyakan bukan buatan lokal alias impor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar